Dear Kay,
Jakarta lumpuh! Hujan deras berhari-hari membuat ibukota tergenang air. Pusat kota bahkan terlihat seperti kota dalam air dengan ketinggian air yang bisa sampai menenggelamkan orang dewasa. Sebagian infrastruktur lumpuh, transportasi terhambat dan sinyal buruk. Statusnya bahkan sudah menjadi tanggap darurat. Duka, bagi banyak orang yang terkena imbasnya.
Maafkan aku karena seminggu ini tidak sempat membalas surat darimu. Aku tahu komunikasi di antara kita semakin memburuk. Di antara pesan-pesan tak terkirim dan tak terbalas. Kamu dengan kesibukanmu dan aku dengan segala kesibukan dan keterbatasanku. Aku bahkan tidak tahu bagaimana kabarmu di sana.
Seminggu ini aku banyak berpikir, bagaimana kalau aku tidak dapat bertemu denganmu lagi? Bagaimana kalau kamu lelah dengan kehadiranku? Bagaimana kalau kamu pergi meninggalkanku? Bagaimana kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan mengganggu hubungan kita? Bagaimana kalau... Ah, terlalu banyak hal-hal yang kusut di kepalaku. Isi kepalaku bergolak dan mau tumpah, banyak kata yang ingin muntah.
Kamu tahu, aku selalu menyukai hujan. Baik rintik gerimis maupun ketika rinainya mulai merapat deras menjadi tirai roncean mutiara yang jatuh dari langit. Konstan. Tapi apa yang terjadi beberapa hari ini membuatku takut. Ketika alam mengamuk, langsung terlihat bahwa manusia begitu kecil dan kerdil dibandingkan alam raya. Kemudian mereka saling tuding dan saling menyalahkan bencana yang menimpa mereka. Tanpa memikirkan bahwa setiap individu juga memiliki andil dalam hal yang kemudian terjadi.
Semesta terus bergerak dan berputar. Apa yang telah diperbuat manusia dapat menjadi sebab bagi kejadian lainnya. Rantai sebab akibat. Butterfly effect.
Dan aku tidak tahu apa yang terjadi padaku saat ini. Entah akibat hujan kali ini yang berbeda dari biasanya, entah karena aku merasa jarak di antara kita semakin jauh, atau entah karena aku melihat banyak mata di luar sana yang sendu dan begitu sedih. Menderita. Binar indah di mata mereka sirna karena mereka tidur dengan rasa lapar, basah, dingin, dan beratapkan langit yang masih saja terus mencurahkan airnya ke bumi. Aku merasa beruntung dan sangat bersyukur bahwa aku tidak perlu mengalami hal itu.
Tapi kenapa hatiku masih saja merasa sakit dan tersayat?
Adakah ini berhubungan dengan kondisi ibukota saat ini? Ataukah karena tembok tak terlihat yang tiba-tiba menjulang semakin tebal dan tinggi di antara kita? Seharusnya hal itu bukan masalah.. Bukan masalah..
Aku bersyukur masih bisa tidur beralaskan kasur yang nyaman dan kering. Ditambah dengan suara merdu rintik hujan yang jatuh ke atap dan tanaman di luar jendelaku. Namun.. Beberapa hari ini aku selalu terbangun dengan bantal dan mata yang basah. Resah. Gelisah. Gundah.
Aku benci mimpi buruk. Mimpi-mimpi gelap dan kelam tentang masa lalu. Aku benci terus dihantui masa lalu. Tapi tak ada satupun yang bisa kulakukan untuk menghalau kedatangannya. Berdoa sebelum tidur sudah kulakukan. Bahkan aku membalik bantalku setiap aku terbangun karena mimpi buruk. Berharap bahwa dengan mengganti sisi bantal penopang kepalaku, mimpi buruknya sudah tidak akan menggangguku. Entah dari mana mitos itu datang. Dan dengan bodohnya aku memercayai hal itu. Kamu pun saat ini pasti sedang menertawai kebodohanku.
Setidaknya kebodohanku itu sedikit menyelamatkan malam istirahatku. Karena sebenarnya aku berharap ketika aku terbangun berpeluh pilu dengan rasa tersayat, kamu ada di sisiku. Memelukku. Menenangkan segala risau gelisahku. Mengusap butiran air mata yang sudah bagaikan air terjun dari balik bulu mataku. Sepertinya memikirkan hal itu, membuatku semakin sedih. Sudut mataku mulai berkilauan dan tidak ada dirimu yang mencegahnya untuk kemudian tidak mengalir menjadi sungai-sungai kecil di pipiku.
Pernahkah kamu merasa begitu sendirian dan kesepian seperti ini, Kay?...
Catch a falling star and put it in my pocket, save it for a rainy days.
Maybe I will..
With love,
Ay
Hujan entah kenapa selalu berhasil membuatku merasa mellow dan kesepian... *puk-puk Ay*
ReplyDeleteHujan yang belakangan ini iya, bikin aku mellow.. Huhuhuu..
DeleteDitulisan ini kamu terlalu banyak main main dengan diri pikiranmu sendiri.juga dengan kalimat kalimat klise. Hujan, semesta, rinai...terlalu pasaran. Perdalam dengan detail dan deskripsi yang mbikin aku terpesona donk...
ReplyDeleteHhmm.. Memang harusnya gimana?
DeleteAku tidak bermaksud membuatmu terpesona juga kok. :|
heheehehehehee...:))
DeleteJangan ketawa!!
DeleteUhuk..aku dikasih tanda seru..dua lagi..ugh..:((
Deletedear Ajeng, tulisanmu bagus lho..sudah ada improvement dibanding sebelumnya. Aku suka :)
*tanda serunya ilangin dunk...*
Meh.. :|
DeleteSemuanya kan bisa bermula dari sesuatu yang klise, kemudian akan berkembang seiring dengan kosakata yang diserap. Kalau kemampuannya baru segitu, tidak usah dipaksakan memakai kata-kata berbunga-bunga yang tidak kumengerti kan? :D
Terima kasih :)
Justru itu, kata kata macam semesta, hujan..dan sejenisnya itulah bunga bunga yang buatku lebay...setiap ababil make kata itu..dan terlalu sering dipake asal-asalan tanpa pendalaman..ya kamu itu salah satunya...
Deletedeskripsikan satulah sederhana secara sederhana..dengan kalimat kalimat sederhana...jangan lebay
oya, satu kekurangan "kecil" kamu perlu ciptakan satu "bridge"..jembatan antar paragraf..antar pikiran..polanya bebas..kamu yang tentukan..
Will do.. :)
Deletegood. try harder..smarter oya. diatas typo,
Deletedeskripsikan satu hal.. tertulis satulah